Budaya Cirebon
adalah sebuah entitas yang khas dan unik, tidak bisa diabaikan begitu saja
dalam kajian kebudayaan etnis di Indonesia. Kondisi geografisnya sangat memungkinkan terjadinya persilangan
budaya, terutama budaya Sunda, Jawa, Cina, Arab, India, dan terakhir budaya Barat
yang diterima dengan penuh bangga oleh kaum muda.
Masa-masa
kolonial dan pemaksaan sikap feodalistik telah menimbulkan suatu sikap Resistence of Colonised perlawanan si
terjajah terhadap coloniser (penjajah). Posisi Geopolitik Cirebon memaksakan
keharusan kepemimpinan yang kuat, ”lemah berarti bencana”. Di tengah dua
kekuatan politik dan militer (Mataram dan Belanda) dan dua kekuatan kultural
(Sunda dan Jawa) yang sebagai the other. Sikap egaliternya merasa
diinjak-injak, tak mampu melakukan perlawanan fisik karena kehilangan daya
organisasinya. Wong Cherbon melakukan pemerdekaan kultural.
Dengan
mencomot bagian-bagian budaya para penghimpitnya, lahirlah suatu kultur yang
diakui sebagai jati diri wong Cherbon, tanpa membuat para penghimpitnya tersinggung,
karena sikap konfrontasinya dihilangkan dan karakteristik koeksistensi dan
kooperasinya dikedepankan. Cirebon pun menjadi khas pada bahasanya,
keseniannya, tradisinya dan ide-ide yang diyakinkannya.
Lahirlah
tarling untuk menyatakan dirinya sejajar dalam koeksistensinya dengan Barat
dicontohnya gitar, ditaklukannya dia lalu dimasukannya kedalam sistem nilai
timur ( gamelan ), untuk kemudian betul-betul menjadi Cirebon. Lahir pula seni
Burok dengan ditingkahi musik dog-dog, ia adalah Cirebon yang lahir dari Trans Kultural dengan angka persilangan
budaya didalamnya, Burok walaupun dalam perwujudannya lahir dari sinkretisme Agama kultur Hamiyah-Samiyah (AD, AL
Marzdedek, Parasit Akidah), ia dianggap mewakili Islam. Macan mewakili kultur
keberanian dan kegagahan Siliwangi dan Cirebon, gajah akulturasi dari Hindu,
kadang-kadang dalam seni Burok ini ditampilkan barongan (dari barongsai) tapi
dengan pemain tunggal, bolehlah ia dianggap mewakili budaya Cina.
Pada tahap
perkembangan tahun 1970-an seni burok diiringi musik tambahan gitar dengan
iringan pujian Shalawat dan lantunan syair-syair Berjanzi lalu seiring
perkembangan zaman seni ini termarjinalkan karena serbuan industri hiburan
moderen. Nasibnya sama dengan tarling. Kedua kesenian ini kemudian bermetamorfose. Burok memadukan
dog-dognya dengan dangdut, bahkan nuansa dangdutnya lebih dominan. Tarlingpun
menjadi tarling dangdut lalu berkembang menjadi dangdut Cirebonan.
Namun perkembangan seni yang semula penuh makna simbolis filosofi religi,
kini hanya mengedepankan nilai hiburannya saja, terdegredasi, mubadzir dan
nilai rendah jauh dari agama dan kesantunan budaya asli Cirebon. Keduanya masih tetap Cirebon, tapi Cirebon
yang sudah tercabut dari akarnya, semula dibangun sebagai bentuk pembebasan
diri atau pemerdekaan, sekarang kembali jatuh menjadi kultur Subaltern (bawahan
/jajahan) budaya lain.
Kota
Cirebon memiliki berbagai seni dan budaya tradisional khas yang bernuansa Islam
serta bercirikan tentang kehidupan dan perjuangan. Kota Cirebon juga memiliki
event-event tradisional yang hingga saat ini masih dilaksanakan, seperti
sedekah bumi/Mapag sri, Nadran (sepanjang wilayah pantai utara) dan muludan
(setiap bulan maulid di kalender Islam).
Kebudayaan
yang ada di Kota Cirebon sebenarnya memiliki potensi yang sangat potensial untuk
dikembangkan sehingga dapat diberdayakan menjadi nilai tinggi yang dapat
dilestarikan dan dapat disajikan nilai komoditas pariwisata sebagai daya tarik
tersendiri di Kota Cirebon.
Kesenian, tradisi dan unsur-unsur nilai budaya yang amat
luhur sebagai faktor penunjang dalam menyokong pembangunan di wilayah Kota
Cirebon. Budaya yang cenderung religius berbaur dengan budaya Keraton yang
bernuansa kerajaan sangat khas dan amat menonjol sebagai ciri khas yang amat
kental di Kota Cirebon.
No comments :
Post a Comment