Thursday 20 March 2014

Keraton Kasepuhan Cirebon

Keraton Kasepuhan Cirebon terletak di Jl. Kasepuhan Cirebon, dikitari Kali Sipadu dan alun-alun Kasepuhan di sebelah Utara, Mesjid Agung Sang Ciptarasa di sebelah barat laut, pemukiman penduduk di sebelah Barat dan Timur. Kali Kriyan membatasi komplek keraton ini pada arah selatan. Secara administratif, situs komplek keraton yang luasnya sekitar 185.500 m2 ini berada dalam wilayah Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon.

Keraton pakungwati atau yang dikenal juga Dalem Agung Pakungwati merupakan cikal bakal Keraton Kasepuhan. Keraton Pakungwati yang terletak di sebelah timur Keraton Kasepuhan, dibangun oleh Pangeran Cakrabuana (putra Raja Pajajaran) pada tahun 1452, hampir bersamaan dengan pembangunan Masjid Pejlagrahan yang berada di sebelah timurnya. Pada tahun 1479 keraton ini diperluas dan dilebarkan. Luas situs keraton pertama di Cirebon ini sekitar 4.900 m2, mempunyai tembok keliling sendiri, dan keadaaan bangunannya sekarang tinggal reruntuhan saja. Di sana terdapat sisa-sisa bangunan, gua buatan, sumur dan taman.

Pada abad ke-16 Sunan Gunung Jati mangkat, digantikan oleh cicitnya yang bernama Pangeran Emas Zaenal Arifin dan bergelar Panembahan Pakungwati I. pada tahun 1529 beliau mambangun keraton baru di sebelah barat daya keraton lama. Keraton baru ini juga dinamai Keraton Pakungwati, mengabadikan nama puteri Pangeran Cakrabuana atau buyut sultan, yang gugur pada tahun 1549 ketika ikut memadamkan kobaran api yang membakar Mesjid Agung sang Cipta Rasa.

Pada tahun 1969 Kesultanan Cirebon dibagi dua menjadi Keraton Kesultanan Kanoman dan Kasepuhan. Keraton Kanoman dipimpin oleh P. Kartawijaya dan bergelar Sultan Anom I, sementara Kesultanan Kasepuhan dipimpin oleh P. Martawijaya yang bergelar Sultan Sepuh I. Kedua sultan ini kakak beradik, dan masing-masing menempati keraton sendiri. Sultan Sepuh I menempati Keraton Pakungwati, yang kemudian berganti nama menjadi Keraton kasepuhan.

Sunday 16 March 2014

Jenis - jenis Wayang di Cirebon

Wayang kulit cirebon
Buta Terong
Anda pasti pernah mendengar Wayang. Wayang adalah seni dekoratif yang merupakan ekspresi kebudayaan nasional. Di samping merupakan ekspresi kebudayaan nasional juga merupakan media pendidikan, media informasi dan hiburan.


Wayang merupakan media pendidikan, karena ditinjau dari segi isinya banyak memberikan ajaran – ajaran kepada manusia. Baik manusia sebagai individu atau sebagai anggota masyarakat. Jadi wayang dalam media pendidikan, terutama pendidikan budi pekerti, besar sekali manfaatnya. Wayang menjadi media informasi, karena dari segi penampilannya, sangat komunikatif dan dapat dipakai untuk memahami suatu tradisi, serta dapat dipakai sebagi alat untuk mengadakan pendekatan kepada masyarakat, dan memberikan informasi mengenai masalah – masalah kehidupan serta segala seluk – beluknya.

Wayang juga dianggap sebagai media hiburan, karena wayang dipakai sebagai pertunjukan di dalam berbagai macam keperluan hiburan. Selain dihibur para peminat dibudayakan dan diperkaya secara spiritual.

SEJARAH WAYANG DI CIREBON

Menurut riwayat, tokoh yang mula - mula membawa wayang ke Cirebon adalah Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus pada pertengahan abad XVI. Kemudian kesenian wayang tersebut menyebar ke tempat – tempat kediaman para Bupati di Jawa Barat. Dengan demikian anggota masyarakat yang mula–mula berkenalan denagan seni pewayangan adalah mereka yang termasuk lapisan atas. Pada saat itu kesenian pewayangan masih menggunakan pengantar bahasa Jawa Mataram, karena Cirebon dan sekitarnya berada di bawah pengaruh kekuasaan Mataram. Oleh karena seni pewayangan ditujukan sebagai media da’wa maka masyarakat tingkat bawah pun diperkenalkan dengan seni pewayangan.

Kemudian pada masa berlangsungnya Cultuurstelsel (1830 – 1870 ) yang sangat menekan kehidupan rakyat, banyak penduduk Jawa Tengah yang menyingkir ke Cirebon dan Jawa Barat sambil meneruskan tradisi seni pewayangan, kemudian pada saat itu seni pewayangan menjadi lebih populer di Cirebon khususnya dan di Jawa Barat umumnya hingga tahun 1970 –an, terutama sebagai media hiburan.


JENIS – JENIS WAYANG DI CIREBON

Di Cirebon masyakat umumnya mengenal wayang sebagai media hiburan dan media komunikasi dalam lima jenis, yakni:
  1. Wayang Kulit
  2. Wayang Golek
  3. Wayang Bendo (Wayang Cepak)
  4. Wayang Lilingong dan
  5. Wayang Wong. 
Kelima jenis wayang tersebut diuraikan dalam buku “Sejarah Seni Budaya Jawa Barat” oleh Tim Penulisan Naskah Kebudayaan Jawa Barat dan “Wayang Kulit Purwa” oleh Sukatno B.A.sebagai berikut:

A. Wayang Kulit 

Wayang Kulit Cirebon
Rahwana
Di daerah Cirebon, Wayang kulit disebut juga Wayang Purwa, karena dianggap sebagai jenis yang paling awal (purwa = awal, permulaan). Wayang jenis ini terbuat dari kulit, terutama kulit sapi dengan diberi kerangka dari bambu atau tanduk dilengkapi dengan gagang pegang (handle) yang disebut cempurit untuk menancapkan wayang tersebut pada kedebog pisang dan untuk menggerakkan tangan-tangannya. Bentuk dan wajah wayang .diwarnai dengan gaya-gaya yang khas, sesuai dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh masing-masing tokohnya.



B. Wayang Golek 

Menurut riwayat, tokoh yang mula – muila membuat wayang golek ialah Sunan Kudus pada tahun 1583. kemudian kesenian wayang golek itu masuk ke Cirebon dan dari sana menyebar ke tempat – tempat kediaman para bupati di Jawa Barat. Dengan demikian anggota masyarakat yang mula-mula berkenalan dengan kesenian tersebut ialah mereka yang termasuk lapisan atas. Namun demikian karena bahasa yang digunakan untuk mementaskan ialah bahasa Jawa, dan bahasa tersebut belum banyak yang memahaminya, maka kesenian wayang golek itu untuk beberapa waktu tidak mengalami perkembangan.

Keadaan demikian berubah ketika sebagian besar daerah Jawa Barat, ada di bawah pengaruh kekuasaan Mataram. Waktu itu sebagian besar bupati-bupati di Jawa Barat mengaku sunan Mataram sebagian Yang Dipertuan. Untuk keperluan hubungan di bidang pemerintahan, mereka berusaha memahami bahasa Jawa. Dengan demikian bahasa Jawa memulai menyebar di kalangan anggota masyarakat Jawa Barat lapisan atas. Bersamaan dengan itu, unsur – unsur kebudayaan Mataram lainnya turut termasuk, di antaranya kesenian wayang kulit yang banyak peminatnya terutama di kalangan para menak yang telah memahami bahasa Jawa. Di tangan mereka itu kesenian wayang kulit mendapat pengolahan lebih jauh.

Menurut keterangan Dr. Th. Pigeaud, salah seorang Bupati Sumedang ada yang mendapat ide untuk membuat boneka – boneka yang menggambarkan tokoh – tokoh wayang dalam lakon – lakon Ramayana dan Mahabharata. Kemudian pada masa berlangsungnya Cultuurstelsel (1830 – 1870 ) yang sangat menekan kehidupan rakyat, maka banyak di antara penduduk Jawa Tengah yang menyingkir ke Jawa Barat. Melarikan diri dari tekanan – tekanan hidup sebagai akibat pelaksanaan Cultuurstelsel. Di tempat – tempat kediaman masing – masing yang baru di daerah Jawa Barat, mereka meneruskan tradisi kesenian yang telah dimiliki mereka di antaranya ialah pertunjukan wayang kulit. Dengan peristiwa ini maka kesenian wayang kulit pun semakin menyebar dalam masyarakat Jawa Barat.

Setelah itu dalam kesenian tersebut terjadi perkembangan baru. Wayang yang semula di buat dari kulit, bahannya diganti dengan papan tipis. Dan kemudian wayang yang terbuat dari papan tipis itu pada masa sekitar pergantian abad XIX ke abad XX berangsur – angsur mendapat bentuk seperti boneka wayang golek yang dikenal sekarang ini. Wayang golek itu tumbuh menjadi seni tontonan yang disenangi oleh hampir segala lapisan masyarakat. Sejalan dengan itu maka bahasa yang digunakan oleh dalang, dalam mementaskan pertunjukan tersebut tidak lagi bahasa Jawa tetapi bahasa Sunda. Namun demikian kata – kata yang berasal dari bahasa Jawa beberapa hal masih digunakan. Umumnya lakon yang dimainkan dalam wayang golek itu berpangkal pada cerita – cerita dalam Mahabrata.

Wayang golek dapat berkembang menjadi kesenian yang disenangi oleh hampir segala lapisan masyarakat karena seni pertunjukan tersebut bebas dari unsur-unsur yang dapat menyinggung kehalusan budi manusia. Juga dalam terkandung nilai – nilai luhur yang besar manfaatnya bagi kehidupan bersama manusia dalam masyarakat. Pertunjukan wayang banyak mengandung suri teladan yang patut ditiru, tetapi di samping itu tidak sedikit contoh mengenai tindakan – tindakan buruk yang seharusnya dijauhi. Manusia serakah dan dengki terhadap sesamanya tidak akan terhindar dari hukuman, sedangkan manusia manusia yang jujur dan bersih akan terbukti kesuciannya dan mendapat pahala.

Juga contoh tentang bagaimana seharusnya berlaku terhadap orang - orang yang lebih muda usianya atau lebih rendah kedudukan sosialnya, terhadap sesama, terhadap orang yang lebih tua atau yang lebih tinggi kedudukan sosialnya. Dapat membangkitkan rasa kasih sayang terhadap orang tua, sanak saudara serta rasa cinta dan kerelaan berkorban untuk kepentingan tanah air. Juga dapat membangkitkan rasa keberanian untuk membela keadilan dan mempertahankan kebenaran. Selain itu dapat membangkitkan rasa kreativitas dalam berbagai macam cabang kesenian seperti seni tubuh, seni suara, seni tari , seni pahat, seni rupa, seni hias.

C.Wayang Bendo

Seni wayang golek, di daerah Jawa Barat juga dikenal wayang bendo atau wayang cepak, kesenian tersebut berasal dari daerah Cirebon. Wayang bendo mulai dikenal di daerah Priangan pada akhir abad XIX, yang membawa ke Bandung pada tahun 1882 ialah Dalang Usup dari Losari Lor, daerah Cirebon. Ia datang ke Bandung atas undangan bupati yang memerintah di sana, ialah R.A. Kusumadialaga ( Dalem Marhum ) di pendopo kabupaten. Kemudian ia dianugrahi gelar Ngabei oleh bupati tersebut, sehingga di kalangan masyarakat, ia dikenal dengan julukan Mama Bei. Gamelan yang mengiringi wayang bendo yang dimainkan dengan dalang Usup atau Mama Bei ialah gamelan pelog.

Kemahiran Mama Bei dalam mendalang tidak terbatas dalam wayang bendo saja, ia juga ahli memainkan wayang kulit, setelah Mama Bei meninggal dunia yang meneruskan keahliannya sebagai dalang, ialah putranya yang bernama Rasta. Pada masa sebelum Perang Dunia II, pertunjukan wayang bendo di bawah dalang Rasta, terutama berkembang di daerah kabupaten Bandung sebelah barat yaitu di daerah – daerah Cimahi, Batujajar, Cililin, Soreang dan juga di daerah – daerah sekitar Kota Bandung seperti Bojonegara dan Tegalega. Dinamakan wayang bendo atau wayang cepak karena tutup kepala wayang tersebut berbeda dengan lazimnya tutup kepala pada wayang golek. Jika wayang golek umumnya menggunakan “tutup kepala yang melengkung” maka tokoh – tokoh wayang itu pada bagian atasnya berbentuk seperti bendo atau rambut yang dicepak.

D. Wayang Lilingong

Selain Wayang Golek yang mulai digemari di wilayah pedalaman, tumbuh pula varian wayang lainnya. Seperti Wayang Wong Sunda dan Wayang Lilingong. Wayang Lilingong bisa disebut sebagai tiruan dari konsep Wayang Krucil. MA Salmun, dalam bukunya “Padalangan di Pasundan”, menyatakan bahwa “Wayang Lilingong” begitu sederhana, termasuk sarana pengiring- nayaga terutama jika dibandingkan dengan gamelan. Tokohnya pun berbeda dengan wayang purwa, seperti Lokitaksi, jaransari dan Sambunglangu. Disebut Wayang Lilingong, karena mengikuti ucapan dalang : “ILING NGONG” – yang artinya “inilah aku”. Sebahagian disebut “Wayang Kilitik”, karena mirip suara/bunyi gambang “kilitik”. Nayaganya sangat sederhana yaitu terdiri dari : Kecrek, Kendang dan sepasang Saron.

E. Wayang Wong

Menurut Dr. Th. Pigeaud dalam bukunya berjudul Javaansche Volkvertoning terdapat dua macam jenis pertujukan topeng gaya Cirebonan yaitu Groot Maskerspel dan Kleine Maskerspel. Istilah Groot Maskerspel adalah pertujukan topeng yang menggunakan cerita, sedangkan Kleine Maskerspel adalah pertunjukan topeng yang hanya menyajikan tari-tarian tunggal. Jenis pertujukan yang pertama (Groot Maskerspel) dalam khasanah kesenian Cirebon sering disebut dengan istilah Wayang wong. Sedangkan bentuk pertunjukan yang kedua (Kleine Markerspel) yang hanya menyajikan tari-tarian tunggal dinamakan Topeng Babakan.

Secara historis konon kesenian yang disebut groot maskerspel ini berkembang di dua kerajaan besar di Jawa barat yaitu Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten. Di kalangan Kesultanan Cirebon kesenian ini selanjutnya disebut dengan wayang wong atau disebut wayang orang, sedangkan di Kesultanan Banten disebut raket. Di samping memiliki perbedaan istilah, dari aspek cerita yang dipertunjukanpun dalam kesenian ini memiliki perbedaan yang mendasar. Jika pada pertunjukan wayang wong Cirebon tema diangkat berasal dari ceritera Mahabarata dan Ramayana, maka di Kesultanan Banten cerita yang dipertunjukan berupa epos Panji.

Semoga bermanfaat..

Friday 14 March 2014

Kesenian Tarling Cirebon


Kesenian yang kemudian dikenal dengan nama Tarling, pada awalnya hanya berupa permainan anak-anak muda di kala melepas lelah setelah seharian bekerja. Saat itu, pada masa akhir pendudukan Jepang dan memasuki awal revolusi kemerdekaan, permainan mereka hanya menggunakan sebuah gitar dengan menirukan pola tabuhan (melodi) saron. Motif pukulan/tabuhan saron (gamelan) yang berhasil ditransfer ke dalam petikan gitar, akhirnya menjadi kebiasaan remaja saat itu dan dimainkan sambil berkeliling kampung pada malam hari. Hal itu mereka lakukan secara spontanitas dengan membawakan lagu-lagu tradisional yang biasa diiringi musik ensambel gamelan khas Cirebon.

Sementara itu yang pertama kali mempelopori bentuk sajian musik gitar dan suling di Cirebon adalah Jayana dengan temannya seorang pemuda keturunan Cina bernama Liem Sin You yang kemudian dikenal dengan nama Pak Barang. Dari kreativitas kedua tokoh itu, dengan memasukan instrumen suling, benih-benih Tarling mulai nampak. Dan dari perpaduan antara gitar dan suling tersebut menghasilkan warna dan corak musik yang cukup unik dan menarik. Kemudian menjelang perang kemerdekaan, dibentuklah Tarling Barang CS. Istilah barang itu sendiri diambil dari kata bebarang yang artinya ngamen. Pada saat itu Tarling yang disajikan oleh Jayana dan Pak Barang belum dipentaskan di atas panggung, tetapi masih dimainkan sambil berjalan-jalan menelusuri perkampungan. Namun dengan cara-cara seperti itu kesenian Tarling menjadi cepat dikenal oleh masyarakat luas dan banyak diminati serta tidak sedikit dari mereka yang meminta dihibur. Akhirnya Tarling Barang CS banyak memenuhi permintaan masyarakat untuk pentas menghibur mereka, dan pertunjukkannya pun tidak lagi dilakukan sambil berjalan-jalan, tetapi disajikan di tempat-tempat tertentu sesuai permintaan, seperti; di Warung Kopi, di teras rumah, bahkan di tempat pembakaran batu bata.

Setelah mendapat respon yang cukup baik dari kalangan masyarakat, kemudian sekitar tahun 1950-an Jayana menambahkan beberapa instrumen lain, seperti; Kendang, Ketuk, Kebluk, Kecrek, dan Gong. Pada dekade ini Tarling garapan Jayana terus mengalami perkembangan menjadi media hiburan massa setara dengan kesenian lain yang sebelumnya telah lebih dulu berkembang.

Perkembangan Tarling yang begitu cepat, selain faktor dukungan masyarakat apresiatornya juga didasari oleh kreativitas penggarapnya yang cukup tanggap terhadap gejala-gejala yang berkembang di masyarakatnya itu sendiri. Manakala masyarakat memperlihatkan reaksi sebagai akibat dari rasa kejenuhan, para dalang Tarling dengan sigapnya segera melakukan perombakan-perombakan dalam tubuh seni garapannya. Hingga Tarling akhirnya menjadi sebuah seni pertunjukkan yang paling banyak di gemari.

*** Tarling yang secara historis baru terbentuk pada sekitar tahun 1950-an, dalam jangka waktu yang relatif singkat mampu meraih sukses yang luar biasa dengan merajai bursa hiburan rakyat di daerah kelahirannya. Padahal jauh sebelum kesenian yang menggunakan instrumen pokok gitar dan suling itu, telah berkembang beberapa jenis kesenian yang cukup komunikatif. Sebut saja Wayang Golek Cepak misalnya yang diciptakan dan dijadikan sebagai sarana penyebaran Agama Islam oleh Wali Sanga, namun begitu Tarling muncul, kesenian hasil karya salah seorang Wali Sanga itu nyaris kehilangan publiknya.

Bila ditinjau secara keseluruhan, konstruksi dasar pertunjukan Tarling sama dan sebangun dengan bentuk karawitan Sekar Gending (Kliningan) gaya Cirebonan dengan menyajikan lagu-lagu klasik Cirebonan, seperti; Jipang Walik, Barlen, Bayeman, Waledan, Bendrong, dll. Jelasnya Tarling adalah lebih dari hasil transformasi dari bentuk karawitan / musik gamelan khas Cirebon, baik lagu-lagunya maupun iringan musiknya. Simak saja petikan gitar yang berlaras Pelog dan Slendro adalah hasil peniruan dari pola tabuhan (melodi) saron. Sementara itu, mulai terangkatnya pamor seni pertunjukan Tarling, setelah mengadopsi lagu Kiser menjadi salah satu dari reportoar lagu-lagu garapannya.

Dengan hadirnya lagu tersebut dalam setiap pertunjukkannya membawa dampak positif terhadap respon masyarakat. Lantas lagu itu semakin menarik perhatian setelah oleh penciptanya, Carini (pesinden Wayang Kulit), dilansir ulang dengan mengangkat tema legenda masyarakat Cirebon yakni; Saidah Saeni. Maka sejak saat itu lagu tersebut menjadi populer dengan nama Kiser Saidah. Kiser Saidah, lagu yang menuturkan kisah kesengsaraan dua orang anak kakak beradik bernama Saidah dan Saeni yang dibuang oleh orang tuanya ke hutan adalah letak kekuatan yang mengundang rasa penasaran masyarakat apresiatornya yang begitu percaya bahwa legenda itu benar-benar pernah terjadi.

Berdasar kepada respon masyarakat yang luar biasa, para kreator Tarling terus melakukan perubahan-perubahan, khususnya perubahan pada bentuk penyajian untuk mendapatkan bentuk yang lebih inovatif. Pada sekitar tahun 1955 lagu Kiser Saidah didramatisir oleh Uci Sanusi. Hal itu dilakukan dengan cara menghadirkan pesinden dan wirasuara sebagai penjelma tokoh utama dalam kisah lagu tersebut. Maka mulai saat itu lagu Kiser Saidah disajikan dengan cara bersahut-sahutan seperti orang yang sedang berdialog. Di sini peran pesinden dan wirasuara tidak hanya sekedar dituntut untuk memperlihatkan kemampuannya melantunkan suara terbaiknya, akan tetapi lebih jauh dari itu ditantang untuk mengekspresikan karakter tokoh yang diperankannya, dan dengan kepiawaiannya Jayana bersama teman mainnya berhasil membangkitkan emosi penontonnya. Pada saat itu penonton bernar-benar terkesima dibuatnya, dan tidak sedikit dari mereka terisak menangis mendengarkan cerita kesengsaraan Saidah dan Saeni yang ditembangkan oleh Jayana tersebut. Eksistensi lagu Kiser Saidah sebagai bagian dari reportoar lagu garapan Tarling menjadi fenomena menarik yang mampu mengubah wajah dan penampilan kesenian tersebut.

Dan perubahan-perubahan dalam tubuh Tarling pun terus berlangsung dari waktu-ke waktu. Hal ini dapat dipahami, sebab isi dan konteks pertunjukan-pertunjukan di mana pun pada umumnya akan akan selalu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan sistem kehidupan secara menyeluruh. Pada pertengahan tahun 1960 bentuk pertunjukan Tarling dirombak total, dari bentuk musik direkayasa menjadi bentuk teater. Lagu Kiser Saidah yang sempat didramatisir oleh Uci Sanusi, oleh Abdul Adjib lebih dikembangkan lagi yakni divisualisasikan dengan laku dramatik. Kemudian struktur dramatiknya dibangun dengan konsep garap Masres (Sandiwara tradisional khas Cirebon). Tokoh-tokoh yang terdapat dalam lagu Kiser Saidah semuanya dimunculkan, seperti; Saidah, Saeni, Sarkawi (Bapaknya), Maemunah (Ibu tiri), Kakek penyelamat, Bujang/pembantu, dll. Tokoh-tokoh tersebut seluruhnya diperankan oleh sebagian pangrawit ( pemusik ), kecuali tokoh utama diperankan oleh pesinden dan wirasuara. Hal ini dikarenakan tokoh tersebut (Saidah dan Seni) dialognya diperagakan dengan cara dinyanyikan mirip dengan pertunjukan Opera atau Sekar Catur (Drama Suara) dalam khazanah karawitan Sunda.

Pada dekade ini cerita Saidah Saeni menjadi lakon drama Tarling yang paling populer dan sekaligus menjadi bagian dari ciri khas pertunjukan teater Tarling. Seperti halnya teater tradisional Indonesia pada umumnya, dialog atau percakapannya berupa dialog dalam bentuk bahasa prosa dan dialog dalam bentuk bahasa puisi yang dinyanyikan (I Made Bandem:1996). Kedua bentuk dialog tersebut dalam pertunjukan Tarling dipergunakan bersama-sama. Selain tembangan (nyanyian) yang dilakukan sebagai percakapan oleh para aktornya, juga dibawakan oleh pembawa cerita (story teller) untuk meciptakan gambaran suasana sesuai dengan adegan yang tengah atau akan berlangsung. Sedang bentuk rumpaka (lirik) lagu yang digunakan untuk kebutuhan dialog yang dinyanyikan diambil dari folklor lisan berbentuk puisi rakyat semacam wangsalan, parikan, sisindiran, pupuh dll.

Pada penyajiannya bentuk sastra (puisi terikat) tersebut yang lebih banyak dipergunakan adalah wangsalan dan sisindiran seperti contoh berikut: Nandur cipir godonge bae / Ana pikir Cuma omonge bae. (Nanam kecipir daunnya saja / Ada pikir cuma omongnya saja). Sedang bentuk sisindiran seperti berikut: Kemis manis Jumah Kliwon / Padang wulan pat belase / Esuk nangis sore ketuwon / Ketemu pada melase. (Kamis manis Jum’at kliwon / terang bulan tanggal empat belas / Pagi menangis sore bingung / ketemu sama-sama nelangsa). Dengan hal-hal seperti itu menunjukkan bahwa peranan Tarling disamping sebagai tontonan sekaligus memberi arti pada seni pertunjukkannya itu sendiri sebagai suatu pengalaman bersama dimana penonton dan pemain berhubungan. Para pelaku bisa menyindir penonton bahkan juga di mana pemain sewaktu-waktu bisa masuk diantara penonton, dan penonton sekali waktu bisa ikut main (Edi Sedyawati : 1981).

Itulah Tarling, para pelakunya bisa mengajak penonton sebagai mitra dialog. Hal itu menyebabkan Tarling menjadi lebih komunikatif dan sangat akrab dengan masyarakat apresiatornya. Sebagaimana telah disebutkan di muka, bahwa dialog dalam drama Tarling sebagian besar dilakukan dengan cara dinyanyikan, maka kedudukan musik memegang peranan yang sangat penting. Dalam hal ini musik tidak hanya sekedar pemberi ilustrasi, tetapi lebih dari itu, musik dalam Tarling berfungsi sebagai penopang utama pertunjukkan secara keseluruhan. Tak heran apabila sejak awal hingga pementasan selesai alunan musik nyaris tak pernah berhenti, baik berupa musik instrumental (gending) maupun musik vokal instrumental (sekar gending) mengalun sepanjang pertunjukkan berlangsung, seiring dengan mengalirnya sajian lakon / cerita. Inilah yang membedakan seni pertunjukkan Tarling dengan jenis kesenian berbentuk teater tradisional lainnya khususnya di Jawa Barat.

Dominasi musik adalah ciri khas dari identitas kesenian milik masyarakat pesisir Cirebon yang satu ini. Pola sajian Tarling yang dikemas dengan pola pertunjukkan teater, secara empiris mampu memberikan dorongan motivasi pada para kreatornya. Sebut saja misalnya Abdul Adjib yang melahirkan lagu Warung Pojok, pada tahun 1974 menciptakan lakon Baridin. Lakon yang ceritanya mirip dengan lakon Sampek Eng Tay itu menjadi tandingan kehebatan (popularitas) kisah Saidah Saeni. Terbukti hal tersebut membuat masyarakat pecinta Tarling semakin terpedaya. Pentas Tarling kian ramai, pertunjukkannya muncul pada setiap keramaian. Dalam kondisi seperti ini, setiap grup dapat memanggungkan karya-karyanya 200 sampai dengan 300 kali pertahun.

Proses kreatif seniman Tarling dalam merekayasa seni garapannya dapat dibilang luar biasa bila dibanding dengan seniman lainnya di luar Tarling. Bisa dibayangkan, hanya dengan sebuah lagu bernama Kiser, mereka mampu menempatkan seni garapannya menjadi tontonan yang paling banyak digemari. Bahkan dulu ketika benih-benih Tarling mulai tumbuh, instrumen gitar diperlakukan dengan menirukan pola tabuhan saron, kini malah sebaliknya para penabuh (nayaga) gamelan di Cirebon yang justru meniru petikan gitar gaya Tarlingan yang sarat dengan improvisasi.
Sumber : Buku Potensi Seni Cirebon : disporbudpar.cirebonkota.go.id

Thursday 13 March 2014

Budaya Cirebon



Budaya Cirebon adalah sebuah entitas yang khas dan unik, tidak bisa diabaikan begitu saja dalam kajian kebudayaan etnis di Indonesia. Kondisi geografisnya  sangat memungkinkan terjadinya persilangan budaya, terutama budaya Sunda, Jawa, Cina, Arab, India, dan terakhir budaya Barat yang diterima dengan penuh bangga oleh kaum muda.
Masa-masa kolonial dan pemaksaan sikap feodalistik telah menimbulkan suatu sikap Resistence of Colonised perlawanan si terjajah terhadap coloniser (penjajah). Posisi Geopolitik Cirebon memaksakan keharusan kepemimpinan yang kuat, ”lemah berarti bencana”. Di tengah dua kekuatan politik dan militer (Mataram dan Belanda) dan dua kekuatan kultural (Sunda dan Jawa) yang sebagai the other. Sikap egaliternya merasa diinjak-injak, tak mampu melakukan perlawanan fisik karena kehilangan daya organisasinya. Wong Cherbon melakukan pemerdekaan kultural.
Dengan mencomot bagian-bagian budaya para penghimpitnya, lahirlah suatu kultur yang diakui sebagai jati diri wong Cherbon, tanpa membuat para penghimpitnya tersinggung, karena sikap konfrontasinya dihilangkan dan karakteristik koeksistensi dan kooperasinya dikedepankan. Cirebon pun menjadi khas pada bahasanya, keseniannya, tradisinya dan ide-ide yang diyakinkannya.
Lahirlah tarling untuk menyatakan dirinya sejajar dalam koeksistensinya dengan Barat dicontohnya gitar, ditaklukannya dia lalu dimasukannya kedalam sistem nilai timur ( gamelan ), untuk kemudian betul-betul menjadi Cirebon. Lahir pula seni Burok dengan ditingkahi musik dog-dog, ia adalah Cirebon yang lahir dari Trans Kultural dengan angka persilangan budaya didalamnya, Burok walaupun dalam perwujudannya lahir dari sinkretisme  Agama kultur Hamiyah-Samiyah (AD, AL Marzdedek, Parasit Akidah), ia dianggap mewakili Islam. Macan mewakili kultur keberanian dan kegagahan Siliwangi dan Cirebon, gajah akulturasi dari Hindu, kadang-kadang dalam seni Burok ini ditampilkan barongan (dari barongsai) tapi dengan pemain tunggal, bolehlah ia dianggap mewakili budaya Cina.
Pada tahap perkembangan tahun 1970-an seni burok diiringi musik tambahan gitar dengan iringan pujian Shalawat dan lantunan syair-syair Berjanzi lalu seiring perkembangan zaman seni ini termarjinalkan karena serbuan industri hiburan moderen. Nasibnya sama dengan tarling. Kedua kesenian ini kemudian bermetamorfose. Burok memadukan dog-dognya dengan dangdut, bahkan nuansa dangdutnya lebih dominan. Tarlingpun menjadi tarling dangdut lalu berkembang menjadi dangdut Cirebonan.
Namun perkembangan seni yang semula penuh makna simbolis filosofi religi, kini hanya mengedepankan nilai hiburannya saja, terdegredasi, mubadzir dan nilai rendah jauh dari agama dan kesantunan budaya asli Cirebon. Keduanya masih tetap Cirebon, tapi Cirebon yang sudah tercabut dari akarnya, semula dibangun sebagai bentuk pembebasan diri atau pemerdekaan, sekarang kembali jatuh menjadi kultur Subaltern (bawahan /jajahan) budaya lain.
Kota Cirebon memiliki berbagai seni dan budaya tradisional khas yang bernuansa Islam serta bercirikan tentang kehidupan dan perjuangan. Kota Cirebon juga memiliki event-event tradisional yang hingga saat ini masih dilaksanakan, seperti sedekah bumi/Mapag sri, Nadran (sepanjang wilayah pantai utara) dan muludan (setiap bulan maulid di kalender Islam).
Kebudayaan yang ada di Kota Cirebon sebenarnya memiliki potensi yang sangat potensial untuk dikembangkan sehingga dapat diberdayakan menjadi nilai tinggi yang dapat dilestarikan dan dapat disajikan nilai komoditas pariwisata sebagai daya tarik tersendiri di Kota Cirebon.
 Kesenian, tradisi dan unsur-unsur nilai budaya yang amat luhur sebagai faktor penunjang dalam menyokong pembangunan di wilayah Kota Cirebon. Budaya yang cenderung religius berbaur dengan budaya Keraton yang bernuansa kerajaan sangat khas dan amat menonjol sebagai ciri khas yang amat kental di Kota Cirebon.