Friday 14 March 2014

Kesenian Tarling Cirebon


Kesenian yang kemudian dikenal dengan nama Tarling, pada awalnya hanya berupa permainan anak-anak muda di kala melepas lelah setelah seharian bekerja. Saat itu, pada masa akhir pendudukan Jepang dan memasuki awal revolusi kemerdekaan, permainan mereka hanya menggunakan sebuah gitar dengan menirukan pola tabuhan (melodi) saron. Motif pukulan/tabuhan saron (gamelan) yang berhasil ditransfer ke dalam petikan gitar, akhirnya menjadi kebiasaan remaja saat itu dan dimainkan sambil berkeliling kampung pada malam hari. Hal itu mereka lakukan secara spontanitas dengan membawakan lagu-lagu tradisional yang biasa diiringi musik ensambel gamelan khas Cirebon.

Sementara itu yang pertama kali mempelopori bentuk sajian musik gitar dan suling di Cirebon adalah Jayana dengan temannya seorang pemuda keturunan Cina bernama Liem Sin You yang kemudian dikenal dengan nama Pak Barang. Dari kreativitas kedua tokoh itu, dengan memasukan instrumen suling, benih-benih Tarling mulai nampak. Dan dari perpaduan antara gitar dan suling tersebut menghasilkan warna dan corak musik yang cukup unik dan menarik. Kemudian menjelang perang kemerdekaan, dibentuklah Tarling Barang CS. Istilah barang itu sendiri diambil dari kata bebarang yang artinya ngamen. Pada saat itu Tarling yang disajikan oleh Jayana dan Pak Barang belum dipentaskan di atas panggung, tetapi masih dimainkan sambil berjalan-jalan menelusuri perkampungan. Namun dengan cara-cara seperti itu kesenian Tarling menjadi cepat dikenal oleh masyarakat luas dan banyak diminati serta tidak sedikit dari mereka yang meminta dihibur. Akhirnya Tarling Barang CS banyak memenuhi permintaan masyarakat untuk pentas menghibur mereka, dan pertunjukkannya pun tidak lagi dilakukan sambil berjalan-jalan, tetapi disajikan di tempat-tempat tertentu sesuai permintaan, seperti; di Warung Kopi, di teras rumah, bahkan di tempat pembakaran batu bata.

Setelah mendapat respon yang cukup baik dari kalangan masyarakat, kemudian sekitar tahun 1950-an Jayana menambahkan beberapa instrumen lain, seperti; Kendang, Ketuk, Kebluk, Kecrek, dan Gong. Pada dekade ini Tarling garapan Jayana terus mengalami perkembangan menjadi media hiburan massa setara dengan kesenian lain yang sebelumnya telah lebih dulu berkembang.

Perkembangan Tarling yang begitu cepat, selain faktor dukungan masyarakat apresiatornya juga didasari oleh kreativitas penggarapnya yang cukup tanggap terhadap gejala-gejala yang berkembang di masyarakatnya itu sendiri. Manakala masyarakat memperlihatkan reaksi sebagai akibat dari rasa kejenuhan, para dalang Tarling dengan sigapnya segera melakukan perombakan-perombakan dalam tubuh seni garapannya. Hingga Tarling akhirnya menjadi sebuah seni pertunjukkan yang paling banyak di gemari.

*** Tarling yang secara historis baru terbentuk pada sekitar tahun 1950-an, dalam jangka waktu yang relatif singkat mampu meraih sukses yang luar biasa dengan merajai bursa hiburan rakyat di daerah kelahirannya. Padahal jauh sebelum kesenian yang menggunakan instrumen pokok gitar dan suling itu, telah berkembang beberapa jenis kesenian yang cukup komunikatif. Sebut saja Wayang Golek Cepak misalnya yang diciptakan dan dijadikan sebagai sarana penyebaran Agama Islam oleh Wali Sanga, namun begitu Tarling muncul, kesenian hasil karya salah seorang Wali Sanga itu nyaris kehilangan publiknya.

Bila ditinjau secara keseluruhan, konstruksi dasar pertunjukan Tarling sama dan sebangun dengan bentuk karawitan Sekar Gending (Kliningan) gaya Cirebonan dengan menyajikan lagu-lagu klasik Cirebonan, seperti; Jipang Walik, Barlen, Bayeman, Waledan, Bendrong, dll. Jelasnya Tarling adalah lebih dari hasil transformasi dari bentuk karawitan / musik gamelan khas Cirebon, baik lagu-lagunya maupun iringan musiknya. Simak saja petikan gitar yang berlaras Pelog dan Slendro adalah hasil peniruan dari pola tabuhan (melodi) saron. Sementara itu, mulai terangkatnya pamor seni pertunjukan Tarling, setelah mengadopsi lagu Kiser menjadi salah satu dari reportoar lagu-lagu garapannya.

Dengan hadirnya lagu tersebut dalam setiap pertunjukkannya membawa dampak positif terhadap respon masyarakat. Lantas lagu itu semakin menarik perhatian setelah oleh penciptanya, Carini (pesinden Wayang Kulit), dilansir ulang dengan mengangkat tema legenda masyarakat Cirebon yakni; Saidah Saeni. Maka sejak saat itu lagu tersebut menjadi populer dengan nama Kiser Saidah. Kiser Saidah, lagu yang menuturkan kisah kesengsaraan dua orang anak kakak beradik bernama Saidah dan Saeni yang dibuang oleh orang tuanya ke hutan adalah letak kekuatan yang mengundang rasa penasaran masyarakat apresiatornya yang begitu percaya bahwa legenda itu benar-benar pernah terjadi.

Berdasar kepada respon masyarakat yang luar biasa, para kreator Tarling terus melakukan perubahan-perubahan, khususnya perubahan pada bentuk penyajian untuk mendapatkan bentuk yang lebih inovatif. Pada sekitar tahun 1955 lagu Kiser Saidah didramatisir oleh Uci Sanusi. Hal itu dilakukan dengan cara menghadirkan pesinden dan wirasuara sebagai penjelma tokoh utama dalam kisah lagu tersebut. Maka mulai saat itu lagu Kiser Saidah disajikan dengan cara bersahut-sahutan seperti orang yang sedang berdialog. Di sini peran pesinden dan wirasuara tidak hanya sekedar dituntut untuk memperlihatkan kemampuannya melantunkan suara terbaiknya, akan tetapi lebih jauh dari itu ditantang untuk mengekspresikan karakter tokoh yang diperankannya, dan dengan kepiawaiannya Jayana bersama teman mainnya berhasil membangkitkan emosi penontonnya. Pada saat itu penonton bernar-benar terkesima dibuatnya, dan tidak sedikit dari mereka terisak menangis mendengarkan cerita kesengsaraan Saidah dan Saeni yang ditembangkan oleh Jayana tersebut. Eksistensi lagu Kiser Saidah sebagai bagian dari reportoar lagu garapan Tarling menjadi fenomena menarik yang mampu mengubah wajah dan penampilan kesenian tersebut.

Dan perubahan-perubahan dalam tubuh Tarling pun terus berlangsung dari waktu-ke waktu. Hal ini dapat dipahami, sebab isi dan konteks pertunjukan-pertunjukan di mana pun pada umumnya akan akan selalu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan sistem kehidupan secara menyeluruh. Pada pertengahan tahun 1960 bentuk pertunjukan Tarling dirombak total, dari bentuk musik direkayasa menjadi bentuk teater. Lagu Kiser Saidah yang sempat didramatisir oleh Uci Sanusi, oleh Abdul Adjib lebih dikembangkan lagi yakni divisualisasikan dengan laku dramatik. Kemudian struktur dramatiknya dibangun dengan konsep garap Masres (Sandiwara tradisional khas Cirebon). Tokoh-tokoh yang terdapat dalam lagu Kiser Saidah semuanya dimunculkan, seperti; Saidah, Saeni, Sarkawi (Bapaknya), Maemunah (Ibu tiri), Kakek penyelamat, Bujang/pembantu, dll. Tokoh-tokoh tersebut seluruhnya diperankan oleh sebagian pangrawit ( pemusik ), kecuali tokoh utama diperankan oleh pesinden dan wirasuara. Hal ini dikarenakan tokoh tersebut (Saidah dan Seni) dialognya diperagakan dengan cara dinyanyikan mirip dengan pertunjukan Opera atau Sekar Catur (Drama Suara) dalam khazanah karawitan Sunda.

Pada dekade ini cerita Saidah Saeni menjadi lakon drama Tarling yang paling populer dan sekaligus menjadi bagian dari ciri khas pertunjukan teater Tarling. Seperti halnya teater tradisional Indonesia pada umumnya, dialog atau percakapannya berupa dialog dalam bentuk bahasa prosa dan dialog dalam bentuk bahasa puisi yang dinyanyikan (I Made Bandem:1996). Kedua bentuk dialog tersebut dalam pertunjukan Tarling dipergunakan bersama-sama. Selain tembangan (nyanyian) yang dilakukan sebagai percakapan oleh para aktornya, juga dibawakan oleh pembawa cerita (story teller) untuk meciptakan gambaran suasana sesuai dengan adegan yang tengah atau akan berlangsung. Sedang bentuk rumpaka (lirik) lagu yang digunakan untuk kebutuhan dialog yang dinyanyikan diambil dari folklor lisan berbentuk puisi rakyat semacam wangsalan, parikan, sisindiran, pupuh dll.

Pada penyajiannya bentuk sastra (puisi terikat) tersebut yang lebih banyak dipergunakan adalah wangsalan dan sisindiran seperti contoh berikut: Nandur cipir godonge bae / Ana pikir Cuma omonge bae. (Nanam kecipir daunnya saja / Ada pikir cuma omongnya saja). Sedang bentuk sisindiran seperti berikut: Kemis manis Jumah Kliwon / Padang wulan pat belase / Esuk nangis sore ketuwon / Ketemu pada melase. (Kamis manis Jum’at kliwon / terang bulan tanggal empat belas / Pagi menangis sore bingung / ketemu sama-sama nelangsa). Dengan hal-hal seperti itu menunjukkan bahwa peranan Tarling disamping sebagai tontonan sekaligus memberi arti pada seni pertunjukkannya itu sendiri sebagai suatu pengalaman bersama dimana penonton dan pemain berhubungan. Para pelaku bisa menyindir penonton bahkan juga di mana pemain sewaktu-waktu bisa masuk diantara penonton, dan penonton sekali waktu bisa ikut main (Edi Sedyawati : 1981).

Itulah Tarling, para pelakunya bisa mengajak penonton sebagai mitra dialog. Hal itu menyebabkan Tarling menjadi lebih komunikatif dan sangat akrab dengan masyarakat apresiatornya. Sebagaimana telah disebutkan di muka, bahwa dialog dalam drama Tarling sebagian besar dilakukan dengan cara dinyanyikan, maka kedudukan musik memegang peranan yang sangat penting. Dalam hal ini musik tidak hanya sekedar pemberi ilustrasi, tetapi lebih dari itu, musik dalam Tarling berfungsi sebagai penopang utama pertunjukkan secara keseluruhan. Tak heran apabila sejak awal hingga pementasan selesai alunan musik nyaris tak pernah berhenti, baik berupa musik instrumental (gending) maupun musik vokal instrumental (sekar gending) mengalun sepanjang pertunjukkan berlangsung, seiring dengan mengalirnya sajian lakon / cerita. Inilah yang membedakan seni pertunjukkan Tarling dengan jenis kesenian berbentuk teater tradisional lainnya khususnya di Jawa Barat.

Dominasi musik adalah ciri khas dari identitas kesenian milik masyarakat pesisir Cirebon yang satu ini. Pola sajian Tarling yang dikemas dengan pola pertunjukkan teater, secara empiris mampu memberikan dorongan motivasi pada para kreatornya. Sebut saja misalnya Abdul Adjib yang melahirkan lagu Warung Pojok, pada tahun 1974 menciptakan lakon Baridin. Lakon yang ceritanya mirip dengan lakon Sampek Eng Tay itu menjadi tandingan kehebatan (popularitas) kisah Saidah Saeni. Terbukti hal tersebut membuat masyarakat pecinta Tarling semakin terpedaya. Pentas Tarling kian ramai, pertunjukkannya muncul pada setiap keramaian. Dalam kondisi seperti ini, setiap grup dapat memanggungkan karya-karyanya 200 sampai dengan 300 kali pertahun.

Proses kreatif seniman Tarling dalam merekayasa seni garapannya dapat dibilang luar biasa bila dibanding dengan seniman lainnya di luar Tarling. Bisa dibayangkan, hanya dengan sebuah lagu bernama Kiser, mereka mampu menempatkan seni garapannya menjadi tontonan yang paling banyak digemari. Bahkan dulu ketika benih-benih Tarling mulai tumbuh, instrumen gitar diperlakukan dengan menirukan pola tabuhan saron, kini malah sebaliknya para penabuh (nayaga) gamelan di Cirebon yang justru meniru petikan gitar gaya Tarlingan yang sarat dengan improvisasi.
Sumber : Buku Potensi Seni Cirebon : disporbudpar.cirebonkota.go.id

No comments :

Post a Comment