Sunday 16 March 2014

Jenis - jenis Wayang di Cirebon

Wayang kulit cirebon
Buta Terong
Anda pasti pernah mendengar Wayang. Wayang adalah seni dekoratif yang merupakan ekspresi kebudayaan nasional. Di samping merupakan ekspresi kebudayaan nasional juga merupakan media pendidikan, media informasi dan hiburan.


Wayang merupakan media pendidikan, karena ditinjau dari segi isinya banyak memberikan ajaran – ajaran kepada manusia. Baik manusia sebagai individu atau sebagai anggota masyarakat. Jadi wayang dalam media pendidikan, terutama pendidikan budi pekerti, besar sekali manfaatnya. Wayang menjadi media informasi, karena dari segi penampilannya, sangat komunikatif dan dapat dipakai untuk memahami suatu tradisi, serta dapat dipakai sebagi alat untuk mengadakan pendekatan kepada masyarakat, dan memberikan informasi mengenai masalah – masalah kehidupan serta segala seluk – beluknya.

Wayang juga dianggap sebagai media hiburan, karena wayang dipakai sebagai pertunjukan di dalam berbagai macam keperluan hiburan. Selain dihibur para peminat dibudayakan dan diperkaya secara spiritual.

SEJARAH WAYANG DI CIREBON

Menurut riwayat, tokoh yang mula - mula membawa wayang ke Cirebon adalah Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus pada pertengahan abad XVI. Kemudian kesenian wayang tersebut menyebar ke tempat – tempat kediaman para Bupati di Jawa Barat. Dengan demikian anggota masyarakat yang mula–mula berkenalan denagan seni pewayangan adalah mereka yang termasuk lapisan atas. Pada saat itu kesenian pewayangan masih menggunakan pengantar bahasa Jawa Mataram, karena Cirebon dan sekitarnya berada di bawah pengaruh kekuasaan Mataram. Oleh karena seni pewayangan ditujukan sebagai media da’wa maka masyarakat tingkat bawah pun diperkenalkan dengan seni pewayangan.

Kemudian pada masa berlangsungnya Cultuurstelsel (1830 – 1870 ) yang sangat menekan kehidupan rakyat, banyak penduduk Jawa Tengah yang menyingkir ke Cirebon dan Jawa Barat sambil meneruskan tradisi seni pewayangan, kemudian pada saat itu seni pewayangan menjadi lebih populer di Cirebon khususnya dan di Jawa Barat umumnya hingga tahun 1970 –an, terutama sebagai media hiburan.


JENIS – JENIS WAYANG DI CIREBON

Di Cirebon masyakat umumnya mengenal wayang sebagai media hiburan dan media komunikasi dalam lima jenis, yakni:
  1. Wayang Kulit
  2. Wayang Golek
  3. Wayang Bendo (Wayang Cepak)
  4. Wayang Lilingong dan
  5. Wayang Wong. 
Kelima jenis wayang tersebut diuraikan dalam buku “Sejarah Seni Budaya Jawa Barat” oleh Tim Penulisan Naskah Kebudayaan Jawa Barat dan “Wayang Kulit Purwa” oleh Sukatno B.A.sebagai berikut:

A. Wayang Kulit 

Wayang Kulit Cirebon
Rahwana
Di daerah Cirebon, Wayang kulit disebut juga Wayang Purwa, karena dianggap sebagai jenis yang paling awal (purwa = awal, permulaan). Wayang jenis ini terbuat dari kulit, terutama kulit sapi dengan diberi kerangka dari bambu atau tanduk dilengkapi dengan gagang pegang (handle) yang disebut cempurit untuk menancapkan wayang tersebut pada kedebog pisang dan untuk menggerakkan tangan-tangannya. Bentuk dan wajah wayang .diwarnai dengan gaya-gaya yang khas, sesuai dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh masing-masing tokohnya.



B. Wayang Golek 

Menurut riwayat, tokoh yang mula – muila membuat wayang golek ialah Sunan Kudus pada tahun 1583. kemudian kesenian wayang golek itu masuk ke Cirebon dan dari sana menyebar ke tempat – tempat kediaman para bupati di Jawa Barat. Dengan demikian anggota masyarakat yang mula-mula berkenalan dengan kesenian tersebut ialah mereka yang termasuk lapisan atas. Namun demikian karena bahasa yang digunakan untuk mementaskan ialah bahasa Jawa, dan bahasa tersebut belum banyak yang memahaminya, maka kesenian wayang golek itu untuk beberapa waktu tidak mengalami perkembangan.

Keadaan demikian berubah ketika sebagian besar daerah Jawa Barat, ada di bawah pengaruh kekuasaan Mataram. Waktu itu sebagian besar bupati-bupati di Jawa Barat mengaku sunan Mataram sebagian Yang Dipertuan. Untuk keperluan hubungan di bidang pemerintahan, mereka berusaha memahami bahasa Jawa. Dengan demikian bahasa Jawa memulai menyebar di kalangan anggota masyarakat Jawa Barat lapisan atas. Bersamaan dengan itu, unsur – unsur kebudayaan Mataram lainnya turut termasuk, di antaranya kesenian wayang kulit yang banyak peminatnya terutama di kalangan para menak yang telah memahami bahasa Jawa. Di tangan mereka itu kesenian wayang kulit mendapat pengolahan lebih jauh.

Menurut keterangan Dr. Th. Pigeaud, salah seorang Bupati Sumedang ada yang mendapat ide untuk membuat boneka – boneka yang menggambarkan tokoh – tokoh wayang dalam lakon – lakon Ramayana dan Mahabharata. Kemudian pada masa berlangsungnya Cultuurstelsel (1830 – 1870 ) yang sangat menekan kehidupan rakyat, maka banyak di antara penduduk Jawa Tengah yang menyingkir ke Jawa Barat. Melarikan diri dari tekanan – tekanan hidup sebagai akibat pelaksanaan Cultuurstelsel. Di tempat – tempat kediaman masing – masing yang baru di daerah Jawa Barat, mereka meneruskan tradisi kesenian yang telah dimiliki mereka di antaranya ialah pertunjukan wayang kulit. Dengan peristiwa ini maka kesenian wayang kulit pun semakin menyebar dalam masyarakat Jawa Barat.

Setelah itu dalam kesenian tersebut terjadi perkembangan baru. Wayang yang semula di buat dari kulit, bahannya diganti dengan papan tipis. Dan kemudian wayang yang terbuat dari papan tipis itu pada masa sekitar pergantian abad XIX ke abad XX berangsur – angsur mendapat bentuk seperti boneka wayang golek yang dikenal sekarang ini. Wayang golek itu tumbuh menjadi seni tontonan yang disenangi oleh hampir segala lapisan masyarakat. Sejalan dengan itu maka bahasa yang digunakan oleh dalang, dalam mementaskan pertunjukan tersebut tidak lagi bahasa Jawa tetapi bahasa Sunda. Namun demikian kata – kata yang berasal dari bahasa Jawa beberapa hal masih digunakan. Umumnya lakon yang dimainkan dalam wayang golek itu berpangkal pada cerita – cerita dalam Mahabrata.

Wayang golek dapat berkembang menjadi kesenian yang disenangi oleh hampir segala lapisan masyarakat karena seni pertunjukan tersebut bebas dari unsur-unsur yang dapat menyinggung kehalusan budi manusia. Juga dalam terkandung nilai – nilai luhur yang besar manfaatnya bagi kehidupan bersama manusia dalam masyarakat. Pertunjukan wayang banyak mengandung suri teladan yang patut ditiru, tetapi di samping itu tidak sedikit contoh mengenai tindakan – tindakan buruk yang seharusnya dijauhi. Manusia serakah dan dengki terhadap sesamanya tidak akan terhindar dari hukuman, sedangkan manusia manusia yang jujur dan bersih akan terbukti kesuciannya dan mendapat pahala.

Juga contoh tentang bagaimana seharusnya berlaku terhadap orang - orang yang lebih muda usianya atau lebih rendah kedudukan sosialnya, terhadap sesama, terhadap orang yang lebih tua atau yang lebih tinggi kedudukan sosialnya. Dapat membangkitkan rasa kasih sayang terhadap orang tua, sanak saudara serta rasa cinta dan kerelaan berkorban untuk kepentingan tanah air. Juga dapat membangkitkan rasa keberanian untuk membela keadilan dan mempertahankan kebenaran. Selain itu dapat membangkitkan rasa kreativitas dalam berbagai macam cabang kesenian seperti seni tubuh, seni suara, seni tari , seni pahat, seni rupa, seni hias.

C.Wayang Bendo

Seni wayang golek, di daerah Jawa Barat juga dikenal wayang bendo atau wayang cepak, kesenian tersebut berasal dari daerah Cirebon. Wayang bendo mulai dikenal di daerah Priangan pada akhir abad XIX, yang membawa ke Bandung pada tahun 1882 ialah Dalang Usup dari Losari Lor, daerah Cirebon. Ia datang ke Bandung atas undangan bupati yang memerintah di sana, ialah R.A. Kusumadialaga ( Dalem Marhum ) di pendopo kabupaten. Kemudian ia dianugrahi gelar Ngabei oleh bupati tersebut, sehingga di kalangan masyarakat, ia dikenal dengan julukan Mama Bei. Gamelan yang mengiringi wayang bendo yang dimainkan dengan dalang Usup atau Mama Bei ialah gamelan pelog.

Kemahiran Mama Bei dalam mendalang tidak terbatas dalam wayang bendo saja, ia juga ahli memainkan wayang kulit, setelah Mama Bei meninggal dunia yang meneruskan keahliannya sebagai dalang, ialah putranya yang bernama Rasta. Pada masa sebelum Perang Dunia II, pertunjukan wayang bendo di bawah dalang Rasta, terutama berkembang di daerah kabupaten Bandung sebelah barat yaitu di daerah – daerah Cimahi, Batujajar, Cililin, Soreang dan juga di daerah – daerah sekitar Kota Bandung seperti Bojonegara dan Tegalega. Dinamakan wayang bendo atau wayang cepak karena tutup kepala wayang tersebut berbeda dengan lazimnya tutup kepala pada wayang golek. Jika wayang golek umumnya menggunakan “tutup kepala yang melengkung” maka tokoh – tokoh wayang itu pada bagian atasnya berbentuk seperti bendo atau rambut yang dicepak.

D. Wayang Lilingong

Selain Wayang Golek yang mulai digemari di wilayah pedalaman, tumbuh pula varian wayang lainnya. Seperti Wayang Wong Sunda dan Wayang Lilingong. Wayang Lilingong bisa disebut sebagai tiruan dari konsep Wayang Krucil. MA Salmun, dalam bukunya “Padalangan di Pasundan”, menyatakan bahwa “Wayang Lilingong” begitu sederhana, termasuk sarana pengiring- nayaga terutama jika dibandingkan dengan gamelan. Tokohnya pun berbeda dengan wayang purwa, seperti Lokitaksi, jaransari dan Sambunglangu. Disebut Wayang Lilingong, karena mengikuti ucapan dalang : “ILING NGONG” – yang artinya “inilah aku”. Sebahagian disebut “Wayang Kilitik”, karena mirip suara/bunyi gambang “kilitik”. Nayaganya sangat sederhana yaitu terdiri dari : Kecrek, Kendang dan sepasang Saron.

E. Wayang Wong

Menurut Dr. Th. Pigeaud dalam bukunya berjudul Javaansche Volkvertoning terdapat dua macam jenis pertujukan topeng gaya Cirebonan yaitu Groot Maskerspel dan Kleine Maskerspel. Istilah Groot Maskerspel adalah pertujukan topeng yang menggunakan cerita, sedangkan Kleine Maskerspel adalah pertunjukan topeng yang hanya menyajikan tari-tarian tunggal. Jenis pertujukan yang pertama (Groot Maskerspel) dalam khasanah kesenian Cirebon sering disebut dengan istilah Wayang wong. Sedangkan bentuk pertunjukan yang kedua (Kleine Markerspel) yang hanya menyajikan tari-tarian tunggal dinamakan Topeng Babakan.

Secara historis konon kesenian yang disebut groot maskerspel ini berkembang di dua kerajaan besar di Jawa barat yaitu Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten. Di kalangan Kesultanan Cirebon kesenian ini selanjutnya disebut dengan wayang wong atau disebut wayang orang, sedangkan di Kesultanan Banten disebut raket. Di samping memiliki perbedaan istilah, dari aspek cerita yang dipertunjukanpun dalam kesenian ini memiliki perbedaan yang mendasar. Jika pada pertunjukan wayang wong Cirebon tema diangkat berasal dari ceritera Mahabarata dan Ramayana, maka di Kesultanan Banten cerita yang dipertunjukan berupa epos Panji.

Semoga bermanfaat..

No comments :

Post a Comment